Ungkapan “MENANG“ dan
“KEMENANGAN” memang cukup akrabdi telinga kita. Ungkapan menang biasanya
terucap saat ada kompetisi, perlombaan, pertandingan, kuis berhadia hingga
menang dalam perkelahian. Tetapi mengapa saat penghujung bulan Ramadahan
misalnya, selalu disebut bahwa orang yang telah menyelesaikan puasa adalah para
pemenang. Sehingga Hari Raya Idul Fitri pun disebut dengan hari kemenangan.
Begitu njuga saat muadzin mengumandangkan adzannya lima kali dalam sehari, ada penggalan dalam kalimat adzan yang berbunyi, “Hayya’ala al-Falaah”. Artinya mari kita raih kemenangan. Dan ajakan untuk merahi kemenangan tersebut disampaikan setelah ajakan menunaikan shalat, “Hayya’ala as-Shalah”. Mari kita mengerjakan shalat.
Begitu njuga saat muadzin mengumandangkan adzannya lima kali dalam sehari, ada penggalan dalam kalimat adzan yang berbunyi, “Hayya’ala al-Falaah”. Artinya mari kita raih kemenangan. Dan ajakan untuk merahi kemenangan tersebut disampaikan setelah ajakan menunaikan shalat, “Hayya’ala as-Shalah”. Mari kita mengerjakan shalat.
Sekarang pertanyaan yang
mungkin dapat diajukan adalah kemenangan apakah yang dimaksud? (Si)apa
sebenarnya yang menang? Apakah untuk memenangkan sesuatu kita membutuhkan
tenaga layaknya seorang petarung? Atau bahkan membutuhkan materi.
Jika diperhatikan
dengan seksama, selama ini ungkapan kemenangan selalu identik dengan hasil
akhir dari proses penaklukan terhadap sesuatu. Sehingga ihwal kemenangan
acapkali berkaitan dengan prestasi, perolehan keuntungan, hingga penaklukan
atas manusia atau obyek lain. Jika pemahaman kita seperti ini, maka proses
kemenangan sangat reduktif, yakni dalam persoalan fisik dan pikiran semata.
Agaknya kita lupa satu hal yang sangat penting dalam diri kita, tetapi
selalu saja kita mengalahkannya, dia
adalah hati (Qalb). Sering hati memmbenarkan sesusatu, tetap kita menyalahkan,
sering hati mengajak kepada kebaikan tetapi kita selalu menolaknya.
Dalam hidup, kita
seringkali memenangkan ego ketimbang hati. Apa pun yang berlangsung adalah
bagaimana memuaskan diri sendiri, kita perlu ketahui bahwa kebahagian sejati adalah ketika kita
berkesempatan membahagiakan orang lain.
Dan selama bverbuat baik dan membahagiakan orang lain, tidakada logika
agama yang menuntut agar kita harus
dibalas dengan kebaikan pula oleh orang yang kita bahagiakan tersebut. Bukankah
menurut Al-Qur’an kita diciptakan tak lain hanya untuk mengapdi kepada-Nya?
Maka, berbuat bai kepada seluruh semesta (rahmatan
lil ‘alamin) adalah tugas kita. Ada pun balasan orang lain terhadap apa
yang sudah kita lakukan, itu bukan urusa kita, tetapi Allah SWT yang berwenang
memberikan balasan,kalau yang kita lakukan hanya mengharap balasan orang lain,
maka kita akan sering kecewa, karena baik menurut kita, belum tentu baik
menutrut orang lain.
Jika demikian kesadaran
yang kita miliki, maka sepatutnya kita cukup menjalani hidup dengan merwat,
menjaga, dan melestarikan anugrah Alah SWT. Tapi, bagaiman hasil setelah apa
yang kita lakukan bukan lagi wilayah kita. Bbukanlah segala sesuatu berlangsung
atas kehendak-Nya? Jika memang segala apa yang menimpa kita hakikatnya adalah
diri-Nya, maka mestinya kita harus puas menerimanya (Qana’ah).
Jika kita punya
keyakinanbahwa yang harus kita cari
adlah kebahgian, maka jujurlah bahwa tak ada yang abadi di bumi ini.
Begitu pula jika ktia menolak kekusahan atau penderitaan, maka sesungguhnya
tidak ada kesusahan atau derita yang berlangsung selamanya.(QS. Alam Nasyrah
ayat 5 & 6). Masing-masing dari keduanya dating dan pergi silih berganti
sebagai keutuhan kehidupan di dunia. Susah dan bahagia setiap orang pasti pernah
meraskannya, tak hanya orang kaya yang meraskan bahagia, kebahagian itu milik
semua manusia, tak peduli dia miskin, bodoh, kili, pegawai rendahan, bahkan
gembel sekalipun. Orang kaya meras bahagia ketika iya berhasil membangun rumah
mewah, orang miskin bahagia ketika ia berhasil menyelesaikan pekerjaannnya dan
mendapatkan upah, si gembel merasa bahagia ketika ia bias mengumpulkan
barang-barang bekas dari tempat sampah, dan seterusnya. Hakekatnya kebahagian
itu semua sama, yang membedakan hanya obyek atau hal tang membuat bahagia.
Inilah yang merupakan keadilan Allah SWT. Jika ingin bahagia seseorang tidah
harus kaya terlebih dahulu.
Karena uang, harta,
kekayaan tidak menjamin hdiup seseorang menjadi bahagia. Susah senang, kaya
miskin, menang kalah adalah kurikulum Allah SWT yang selalu dihamparkan kepada
setiap hamba-Nya. Mestinya kita selalu menerima pada setiap ketentuan yang
Allah SWT berikan, menerima dengan ikhlas dan kesengguhan hati merupakan prinsip utama dalam islam yang
disebut dengan Qana’ah.
Masikah kita
mati-matian mengejar sesuatu yang tidak kekal? bukankah hanya Allah SWT yang kekal? Semua yang ada di jagat raya ini
seperti, umur, harta, kedudukan, semuanya fana. Tetapin mengapa kita masih
ambisi dalam mencari atau menghindari sesuatu, jika sebenarnya semua itu adalah
pelajaran dari-Nya? Bahkan ada orang yang rela melakukan kecurangan dalam
perlombaan atau kompetisi demi meraih kemenangan. Padahal orang yang jujur
dalam berkompetisi lalu dia kalah dan berlapang dada atas kekalahannya, dialah pemenang
yang sesungguhnya, karena dia sudah bias mengalahkan ego dan amarahnya.
Marilah kita banyak
belajar pada alam, pada air yang rendah hati, bergurulah pada gunung yang
sabar, berlapanglah seperti samudra, dan bersemangatlah menerima segala
pelajaran dari-Nya, seperti api yang tak kunjung padam. Akhirnya, (Si)apa
sebenarnya yang menang?
1 komentar:
Nikmati Bonus-Bonus Menarik Yang Bisa Anda Dapatkan Di Situs Kami LegendaPelangi.com
Situs Resmi, Aman Dan Terpercaya ^^
Kami Hadirkan 7 Permainan 100% FairPlay :
- Domino99
- BandarQ
- Poker
- AduQ
- Capsa Susun
- Bandar Poker
- Sakong Online
Fasilitas BANK yang di sediakan :
- BCA
- Mandiri
- BNI
- BRI
- Danamon
Ayo buktikan sendiri dan menangkan jutaan rupiah
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami
-BBM : 2AE190C9
-Loginsite : Legendapelangi.com
Posting Komentar